Minggu, 29 November 2009

Lukisan Jingga Senjaku

Harleni Desrian

Aku melukis langit senja dengan tinta berwarna jingga
Menarik segaris lurus sebagai pembatasnya dengan tinta berwarna ungu tua
Hanya ada jingga
Dan ungu tua sebagai bingkainya
Lalu burung-burung senja terbang pulang melewati langit jingga
Menghiasnya hingga tampak lebih berwarna
Tapi itu hanya sementara
Dan lukisanku kembali jingga
Kububuhkan setitik merah di tengah-tengahnya
Sebagai penyemarak suasana
Terlihat rancu
Tidak terlihat lagi seperti lukisanku
Seperti lukisan seniman penyebar senyum palsu
Yang menarik ujung kuasnya dengan kaku
Yang mewarnai langitnya dengan tinta berwarna merah jambu
Dengan membingkainya dengan warna biru
Padahal, jauh dilubuk, hati mereka kelabu
Tetapi selalu berjubah kepura-puraan dan bertopeng keangkuhan
Menonjolkan kesempurnaan
Yang sebenarnya semu
Lantas, apa bedanya denganku?
Lukisanku jingga berbingkai ungu
Hatiku hitam pekat bukan kelabu
Dan jubah agungku kelicikan bukan kepura-puraan
Aku bertopeng keputusasaan bukan keangkuhan
Dan menonjolkan kebingungan bukan kesempurnaan
Yang sama sekali tidak terlihat semu, tapi sebuah kenyataan
Lukisan langit senjaku sempurna
Merahnya telah kuhilangkan dengan air mata
Dan larut bersama warna jingga
Yang membuatnya terlihat lebih nyata
Karena aku adalah seniman dengan sejuta tanda tanya
Yang melukis hanya untuk berkata:
“Lebih baik aku tiada.”

Aku Yang Terkasih

(Harleni Desrian)

Es krim itu tumpah. Tepat mengenai baju putihku. Mulutku menganga lebar, hampir tidak pecaya pada kejadian yang menimpaku siang ini. Murid-murid lain yang berlalu-lalang di sekitarku berhenti, menunggu penasaran detik demi detik luapan emosiku.
Siang yang panas memang dan semua orang menginginkan es krim. Tapi apa pantas kalau kejadiannya seperti ini?
Kugeser letak kacamat untuk membetulkannya lalu menatap siapa orang yang telah berani menumpahkan es krimnya ke seragamku yang putih bersih.
“M-m-maaf.....”, ucapnya tergagap.
Seorang cewek setinggi telingaku. Murid kelas 2 keliatannya.
“Tenang.... Tenang, Kiran... Banyak orang yang sedang memperhatikanmu sekarang.... Jangan begini... Tidak boleh seperti ini....”, kudengar batinku berbisik menenangkan.
Batinku benar. Aku tidak akan sudi merusak nama baikku hanya karena masalah ini.
Aku, Kirani Syafila, berdarah biru, berotak encer, sopan dan santun, cantik, multi-talenta, anggun, dikagumi banyak orang, lemah-lembut, dan penyabar.
Aku tidak ingin mencoreng arang ke mukaku sendiri.
Dia hanyalah adik kelas yang seharusnya kuperlakukan dengan penuh kasih sayang.
Murid-murid masih menentukan ledakan emosiku.
Aku memandang sekeliling lalu kembali menatap gadis di hadapanku ini.
Aku tersenyum.
Semanis mungkin.
Sepalsu mungkin.
Lalu menyentuh pundaknya.
“It’s fine.”, nada riang-palsu kembali meluncur dari bibir mungilku.
Semua orang melotot tidak percaya, termasuk gadis itu.
“Besok lebih hati-hati ya?”, aku mengusap kepalanya lalu berjalan ke kamar mandi dengan anggun. Membersihkan noda es krim keparat ini.

-

Aku duduk di atas kloset dengan gelisah. Kuremas tanganku yang dingin oleh keringat. Tubuhku bergerak maju-mundur.
Apa?! Apa yang bisa menjadi bahan pelampiasanku sekarang?! Apa?!
Pandanganku mengedar ke pojok-pojok kamar mandi dengan tergesa-gesa.
Apa yang bisa kucabik-cabik?!
Ada seekor cicak, tidak terlalu tinggi untuk kujangkau.
Aku berdiri dengan gelisah lalu pergi ke tempat cicak malang itu masih menempel.
Kurogoh kantong rokku dan mengeluarkan sebuah pisau lipat kecil yang selalu kubawa kemanapun.
“Mati! Mati lo sekarang! Dasar cicak keparat! Lo pikir lo siapa berani numpahin es krim ke baju gue?!”, aku membunuh cicak tak berdosa oitu. Menusuk-nusuk tubuhnya.
Binatang malang itu jatuh ke lantai, tercampak dengan menyedihkan.
Setelah kupastikan ia mati, aku keluar toilet dengan wajah tadi. Anggun dan tenang.

-

Sebuah penghapus karet melayang ke kepalaku. Aku menoleh ke belakang lalu kulihat Arini sedang menatapku dengan gelisah.
Dia mengangkat tangannya dan menegakkan jari telunjuk dan tengahnya, membentuk formasi angka dua.
Aku berbalik. Kurobek kertas lalu menuliskan jawaban soal nomor 2 untuk Arini yang tak tahu diri itu.
Aku melemparkan kertas itu padanya.
Lalu kepalaku kembali kejatuhan sesuatu. Kali ini sebuah kertas.
Aku mengutipnya. Membaca apa yang ditulis disitu.
Lagi-lagi mengemis jawaban dariku.
Aku menuliskan jawaan soal nomor 5 dan 6 lalu melemparkannya.
Mia, teman sebangkuku, menarik lembar jawabanku tanpa minta izin terlebih dulu. Kontan aku menganga. Kenapa dia begitu tidak sopan?!

-

Aku pulang. Dengan gelisah yang tak pernah berhenti walaupun tubuhku telah banjir oleh keringat.
Di mobil aku hanya diam dan meledak marah saat supirku mengajak ngonrol.
Sesampai di rumah, aku langsung menuju kamar.
Aku duduk di sudut tempat tidur, meremas tanganku yang basah. Tubuhku bergerak maju-mundur. Aku memandang ke seluruh penjuru kamar.
Tidak ada cicak. Tidak ada kecoa. Tidak ada tikus, apalagi nyamuk atau lalat.
Aku berlari ke belakang rumah. Berharap masih ada yang tersisa di kandang. Tapi begitu aku sampai disana, kandang-kandang itu kosong melompong. Burung-burung di kandang pertama sudah habis kubunuh setiap aku merasa gelisah. Iguana di kandang kedua juga sudah tidak ada. Kubunuh saat aku gelisah menunggu kehadiran kedua orang tuaku yang super sibuk itu di hari ulang tahunku dan mereka memang melupakannya. Monyet di kandang ketiga sudah kubunuhn ketika gelisah menjalar di sarafku karena ternyata Farid, pacarku, kulihat berjalan di mall dengan cewek lain.
Lalu sekarang apa yang bisa kubunuh untuk meredakan kegelisahan ini?! Apa yang bisa kutusuk untuk melenyapkan emosi terendap ini?!
Seekor kucing melompati tembok dan memasuki halaman belakang rumahku. Lama aku memandangnya lalu masuk ke dapur dan mengambil sebuah pisau panjang untuk mengoyak-ngoyak isi perutnya.
“Apa orang-orang seperti kalian pantas disebut teman?! Kalian benalu! Hanya benalu! Mentang-mentang aku ak pernah marah lalu seenaknya memperlakukan aku begitu?! Keparat!”, aku tenggelam dalam emosi terpendamku dan terus mencabik-cabik binatang yang sudah tidak bernyawa itu.
Terus kusayat-sayat hingga kurasa gelisahku telah tiada.

-

Haris, orang yang paling kusayangi di dunia ini tiba-tiba datang ke rumahku. Kontan saja aku memeluknya dan meluapkan rasa bahagiaku padanya.
Aku menawarinya minum, tetapi dia menolaknya. Dia bilang dia tidak akan lama dan hanya perlu beberapa menit bicara padaku.
Aku menanggapinya dengan semangat yang menggebu-gebu. Aku sudah tidak sabar ketika dia menarik nafasnya kemudian bicara.
“Ran, aku mau putus.”
Aku beku. Kaku. Seketika. Pandanganku tidak bisa lari darinya.
Aku tersontak. Kata-kata itu begitu mudah melumcur dari mulutnya. Tanpa ragu-ragu Haris menatapku. Tatapan itu bulat, tegas. Aku bisa melihat keseriusan di matanya. Haris benar-benar memutuskanku.
Pantas saja dia langsung melerai pelukanku. Menolak ketika ditawari minum. Dan bilang hanya butuh beberapa menit untuk bicara.
Aku diam. Terus diam hingga Haris menganggap aku setuju.
Rengekanku agar Haris tidak memutuskanku tercekat di leher. Aku tidak mampu bersuara. Dan akhirnya Haris pergi tanpa memberikan alasannya.
Haris. Orang yang paling kucintai seantero dunia ini tidak mencintaiku lagi....
Itulah kenyataannya.
Aku berlari ke kamar.
Dan duduk di sudut tempat tidur. Menggerak-gerakkan tubuhku seperti biasa. Meremas kedua tanganku seperti biasa. Hanya saja kali ini aku berkeringat lebih banyak dari biasanya.
Kali ini pandanganku tidak lari kesana-kemari. Hanya menatap kosong ke bawah.
“Saya tidak mau dibuat malu lagi oleh kamu! Kita ini keluarga terhormat! Apa salahnya kamu menahan emosimu dulu dan meluapkannya di rumah agar tidak ada seorangpun yang tahu?!”, lelaki yang kupanggil Papa itu bahkan tidak sudi menoleh padaku hanya karena aku berkata kasar pada seorang gadis yang menghina gaunku pada pesta ulang tahun Opa. Gaun itu hadiah dari Oma yang kini telah tiada. Oma yang sangat mencintaiku.
“Sekali lagi saya lihat kamu marah-marah di depan umum seperti tadi, jangan harap kamu boleh keluar lagi!”, bahkan perempuan yang kupanggil Mama itu juga tidak sudi membelaku.
“Mulai sekarang kamu harus bisa mengendalikan emosimu! Kamu boleh pecahkan apapun yang ada di rumah! Tapi tidak di depan orang-orang! Mengerti?!”, lelaki itu melototo padaku dengan urat-urat di lehernya yang menegang.
Tubuhku terus bergerak maju-mundur. Aku tidak bisa menghentikan otakku yang memutar ulang kejadian itu terus-menerus. Hatiku semakin gelisah saja. Jiwaku bertambah resah.
Aku melihat gunting di atas meja belajar. Berpikir apa yang bisa kucabik kali ini.
Yang kali ini harus lebih dahsyat dari kemarin-kemarin! Batinku menghasut.
Aku meraih gunting itu lalu duduk di pojok kamar.
Mulai menusuk-nusuk.
Lalu darah segar mengalir. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Darah merah itu merembes di bajuku lalu mulai tergenang di sekitarku.
Aku terus mencabik-cabik hingga kurasakan pandanganku mengabur.
Mataku menutup perlahan. Lalu kurasakan aku melayang.
Bahkan tidak ada lagi rasa nyeri yang kuasa ketika aku mencabik perutku sendiri.
Nyeri dan perih itu telah mati, terganti oleh emosi yang terpendam. Yang sebenarnya tidak pernah benar-benar hilang.
Karena aku tidak pernah diajari cara memaafkan orang kecuali cara memendam emosi.
--

Rabu, 25 November 2009

welcome!
and it's empty!